Batu Ajaib

Selasa, 31 Mei 2011

| | | 0 komentar
Ketika perpustakaan besar di Alexandria terbakar, ada satu buku yang terselamatkan. Namun buku itu bukanlah buku yang berharga dan seorang lelaki miskin yang dapat membaca sedikit-sedikit, membelinya dengan harga beberapa keping uang tembaga.

Buku itu tidak terlalu menarik, namun di antara lembar-lembarnya ada sesuatu yang sangat menarik, secarik kulit yang berisi rahasia batu ajaib.

Batu ajaib adalah sebuah batu kecil yang dapat mengubah benda logam apapun menjadi emas. Tulisan pada kulit itu menjelaskan bahwa batu ajaib itu ada di antara batu-batu lain dan tampak seperti batu biasa. Rahasianya adalah batu ajaib terasa hangat bila dipegang sedangkan batu-batu biasa terasa dingin.

Jadi lelaki itu menjual hartanya yang hanya sedikit, membeli perbekalan dan berkemah di pantai. Ia pun mulai mencari batu ajaib itu.

Ia tahu bahwa bila mengambil batu biasa dan meletakkannya lagi karena batu itu dingin, ia mungkin mengambil batu yang sama lagi berkali-kali. Jadi ketika ia merasa sebuah batu dingin di tangannya, ia melemparkannya ke laut. Ia menghabiskan sepanjang hari tetapi tidak juga menemukan batu ajaib.

Inilah yang ia lakukan berulang-ulang. Ambil satu batu. Dingin. Buang ke laut. Ambil satu batu lagi. Buang ke laut.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Namun pada suatu hari, menjelang siang, ia mengambil sebuah batu dan batu itu hangat. Ia melemparkannya ke laut sebelum menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia telah membentuk sebuah kebiasaan yang sangat kuat untuk melemparkan semua batu ke laut sehingga ketika ia menemukan batu yang sangat diinginkannya, ia tetap membuangnya.

Begitu juga halnya dengan kesempatan. Bila kita tidak waspada, kita sering gagal mengenali kesempatan yang ada di tangan kita, dan dengan mudah kita membuang kesempatan itu.

Kisah Monyet dan Buaya

Senin, 30 Mei 2011

| | | 1 komentar

Dahulu kala  hiduplah seekor monyet di sebatang pohon jamblang di tepi sungai. Ia bahagia walaupun tinggal sendiri . Pohon itu mempunyai banyak buah yang manis dan memberinya tempat berteduh pada saat hari panas atau hujan.

Pada suatu hari seekor buaya naik ke tepian  sungai dan beristirahat di bawah pohon.  Sang monyet yang ramah menyapanya, “Halo.” 

“Halo,” jawab buaya. “Apakah kau tahu dimana aku dapat menemukan makanan? Tampaknya sudah tidak ada ikan lagi di sungai ini.”

“Aku tidak tahu dimana ada ikan  Namun aku mempunyai  banyak buah jamblang yang masak di pohon ini. Ini, cobalah!” kata monyet sambil memetik beberapa buah jamblang dan melemparkannya kepada buaya.

Buaya memakan semua buah yang diberikan monyet.Ia suka rasanya yang manis. Ia minta monyet memetik buah jamblang lagi untuknya. 

Sejak saat itu buaya datang setiap hari. Mereka pun menjadi sahabat.  Mereka mengobrol sambil makan buah jamblang.

Pada suatu hari buaya bercerita tentang isteri dan  keluarganya.”Mengapa baru sekarang kau bilang bahwa kau punya isteri? Bawalah jamblang ini untuk isterimu.”

Isteri buaya menyukai buah jamblang. Ia belum pernah makan sesuatu yang begitu manis. Ia berpikir betapa manisnya daging monyet yang sepanjang hidupnya makan buah jamblang setiap hari. Air liurnya menetes. 

“Suamiku,” kata isteri buaya, “ajaklah monyet kemari untuk makan malam.  Lalu kita makan dia.”
Buaya terperanjat. Bagaimana ia dapat memakan sahabatnya? Ia menjelaskan kepada isterinya, “Monyet satu-satunya temanku, “ katanya. Sang buaya tetap menolak membawa monyet kepada isterinya. Sementara isterinya pun tetap membujuknya.

Ketika buaya tetap tidak mau menuruti keinginannya, isteri buaya pura-pura sakit keras. “Suamiku,” katanya, “Hanya jantung monyet yang dapat menyembuhkanku. Kalau kau mencintaiku, kau ajak monyet temanmu kemari. Setelah makan jantungnya aku pasti segera sembuh.”

“Teman,” kata buaya kepada monyet.  “Isteriku sangat berterima kasih dengan buah jamblang yang kaukirimkan tiap hari. Sekarang ia ingin mengundangmu makan malam.” Monyet sangat gembira dengan undangan itu namun berkata bahwa ia tak mungkin ikut karena ia tak dapat berenang. “Aku akan menggendongmu di atas punggungku. Kau tak usah khawatir,” kata buaya. 

Monyet pun melompat ke punggung buaya dan berangkatlah mereka.

Ketika mereka sudah cukup jauh dari pohon jamblang, buaya berkata,”Isteriku sakit parah, hanya jantung monyet yang dapat menyembuhkannya.”

Monyet ketakutan. Ia berpikir keras, bagaimana ia dapat menyelamatkan diri. “Buaya temanku, kasihan isterimu. Namun kau tak perlu cemas. Aku senang bisa menolong isterimu dengan jantungku. Masalahnya, aku tadi meninggalkan jantungku di atas dahan pohon jamblang. Ayo kita kembali dan mengambilnya.”

 Buaya percaya kepada monyet. Ia berbalik dan berenang kembali ke pohon jamblang. Monyet segera melompat turun dari punggung buaya dan naik ke dahan pohon. 

“Teman palsu yang bodoh. Tidak tahukah kau, bahwa kita selalu membawa-bawa jantung kita? Aku tak akan mempercayaimu lagi. Pergilah dan jangan kembali ke sini lagi.”  Monyet pun membalikkan badannya, tak mau melihat sang buaya.

Buaya sangat menyesal. Ia kehilangan satu-satunya sahabatnya. Ia juga tak akan dapat makan buah jamblang yang manis itu lagi. 

Monyet lolos dari bahaya karena berpikir dengan cepat dan cerdik. Ia menyadari bahwa monyet dan buaya tidak mungkin berteman. Buaya lebih suka makan monyet daripada berteman dengannya. Peluang mendapat uang tambahan. Caranya mudah Klik di sini

Helen Keller (1880-1968)

Minggu, 29 Mei 2011

| | | 0 komentar





"Hal terbaik dan terindah yang tidak dilihat atau disentuh oleh dunia adalah hal yang dirasakan di dalam hati." –Hellen Keller

Helen Adams Keller  lahir di Tuscumbia, Alabama, 27 Juni 1880. Helen adalah seorang anak yang normal dan sehat hingga pada suatu hari ketika berusia 19 bulan ia menderita demam tinggi. Keluarganya mengira ia akan meninggal, namun akhirnya demamnya turun dan ia sehat kembali. Mula-mula ia nampak baik-baik saja hingga ibunya mendapati bahwa ia tidak dapat mendengar dan melihat. 

Helen sangat cerdas. Ia mengenali orang dengan meraba wajah atau pakaian mereka.  Helen bahkan menciptakan bahasa isyarat sendiri. Bila ia ingin makan roti, ia menggerakkan tangannya menirukan gerakan pisau yang sedang memotong roti. Bila ingin mengatakan es krim, ia memeluk bahunya dan menggigil. 

Namun bagi Helen itu belum cukup, ia ingin dapat berbicara. Hal ini membuatnya frustasi dan mudah marah. 

Beruntung keluarga Keller berjumpa dengan Alexander Graham Bell (penemu telepon) yang memperkenalkan mereka dengan Anne Sullivan. Anne pernah buta namun setelah menjalani dua kali operasi mata dapat melihat kembali walaupun penglihatannya tidak sepenuhnya normal. Anne mengerti  perasaan Helen.

Anne mengajarkan huruf-huruf abjad kepada Helen, kemudian ia mengeja kata-kata dengan menuliskan huruf-huruf di telapak tangan Helen. Helen tidak mengerti arti kata-kata yang diejakan oleh Anne kepadanya, hingga pada suatu hari Anne membawanya ke sebuah pompa air. Ia mengalirkan air ke tangan Helen dan kemudian mengeja W-A-T-E-R di telapak tangannya. Helen memahami bahwa W-A-T-E-R adalah air yang mengalir di tangannya. Semangatnya bangkit. Dalam perjalanan pulang Helen menyentuh semua benda yang ditemuinya dan meminta Anne mengeja nama benda-benda itu. Dalam waktu yang singkat itu ia telah mengenal 30 kata baru.  Ia juga menanyakan nama Anne  yang dijawab Anne dengan mengeja  “T-E-A-C-H-E-R”.

Helen kemudian mempelajari huruf Braille. Ia belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin melalui huruf Braille. 

Ia juga belajar berbicara. Anne dengan tekun mengajari Helen berbicara dengan mengenali gerakan  bibir. Helen “mendengar” dengan meletakkan jarinya di bibir  orang yang berbicara dengannya. Ia menirukan gerakan bibir yang dirasakannya sehingga dapat berbicara.

Ketika berusia 20 tahun, Helen kuliah di Radcliffe College (cabang Universitas Harvard), khusus wanita. Anne ikut dengannya  untuk mengeja kata-kata dosen dan buku-buku teks. Dalam 4 tahun, Helen lulus dengan predikat magna cum laude.

Pada usia 22 tahun, Helen Keller menerbitkan sebuah buku yang merupakan autobiografinya, The Story of My Life (1903), dengan bantuan John Macy, suami Anne. Dari hasil penjualan buku ini Helen mampu membeli sebuah rumah. Helen juga menulis beberapa buku lain dan seri esei politik. 

Helen menjadi sangat terkenal. Ia bepergian ke seluruh dunia dan bertemu dengan orang-orang penting dan terkenal.

Helen Keller menjadi orang sukses karena kebulatan tekadnya. Namun kesuksesan Helen tidak terlepas dari bantuan banyak orang, dan orang yang paling penting dalam hidupnya adalah Anne Sullivan yang setia mendampinginya selama 50 tahun.

Roro Jonggrang - Legenda Candi Prambanan (Cerita dari Jawa Tengah)

Sabtu, 28 Mei 2011

| | | 0 komentar
Dahulu kala ada seorang raja bernama Prabu Boko yang memerintah di Prambanan. Prabu Boko adalah seorang raksasa yang sakti. Ia mempunyai seorang puteri yang bernama Roro Jonggrang. Roro Jonggrang sangat cantik. Berbatasan dengan kerajaan Boko ada sebuah kerajaan bernama Pengging.

Pada suatu hari raja Pengging ingin memperluas wilayah kerajaannya, maka ia mengutus puteranya, Bandung Bondowoso memimpin pasukan menyerang kerajaan Prambanan. Bandung Bondowoso berhasil mengalahkan pasukan Boko bahkan membunuh raja Boko. 

Bandung Bondowoso pun tinggal di istana Prambanan. Ia jatuh cinta kepada Roro Jonggrang dan meminta gadis itu menjadi permaisurinya.

Roro Jonggrang tidak ingin menjadi isteri Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahandanya. Ia mencari akal agar dapat menolak pinangan pangeran Pengging itu dengan halus. 

Akhirnya ia menemui Bandung Bondowoso dan berkata, “Aku mau menjadi isterimu, tetapi sebagai syaratnya engkau harus membuat dua buah sumur dan seribu candi dalam waktu semalam.”

Meskipun syarat yang diajukan Roro Jonggrang mustahil dipenuhi orang lain, Bandung Bondowoso langsung menyanggupinya. Ia mengumpulkan makhluk-makhluk halus yang menjadi anak buahnya dan mulai menggali sumur dan membangun candi. Bandung Bondowoso dan anak buahnya bekerja dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah menyelesaikan sebuah sumur dan ratusan candi.

Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan dengan cemas. Ia berpikir keras untuk menemukan cara menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang pun memanggil dayang-dayang dan menyuruh mereka membakar jerami dan menabuh lesung. Api dari jerami yang dibakar membuat suasana menjadi terang dan suara tabuhan lesung yang gaduh mengejutkan makhluk-makhluk halus yang sedang bekerja. Mereka mengira hari telah pagi. Mereka pun melarikan diri, meninggalkan Bandung Bondowoso serta sumur dan candi yang belum selesai. Bandung Bondowoso berusaha memanggil mereka kembali, tetapi mereka tetap pergi. 

Roro Jonggrang menemui Bandung Bondowoso dan bertanya, “Waktumu sudah habis, Bandung. Apakah candiku sudah selesai?”

Bandung Bondowoso sangat marah karena ia tahu Roro Jonggrang telah menggagalkan kerja kerasnya, namun ia berusaha menahan diri, “Tentu saja candi sudah selesai. Kalau tak percaya, silakan kau hitung sendiri.”

Roro Jonggrang ditemani dayang-dayangnya menghitung candi satu persatu. Ternyata Bandung Bondowoso telah berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi. 

“Kau gagal, Bandung. Masih kurang satu candi lagi,” kata Roro Jonggrang.

Bandung Bondowoso naik darah, “Kalau kau tidak berbuat curang, aku pasti bisa menyelesaikan seribu candi untukmu, Jonggrang,” katanya.

“Baiklah, aku penuhi keinginanmu. Jadilah kau, Roro Jonggrang, candi yang keseribu!” kutuk Bandung Bondowoso 

Roro Jonggrang pun menjelma menjadi patung batu yang sangat cantik dan ajaib, batu-batu tersusun satu demi satu dengan sendirinya membentuk candi,  mengelilingi patung itu.

Sampai sekarang patung batu Roro Jonggrang yang cantik dapat kita saksikan di dalam ruangan candi utama di Prambanan.

Legenda Gunung Tidar (Cerita Rakyat dari Jawa Tengah)

Kamis, 26 Mei 2011

| | | 1 komentar



Dahulu kala, di pulau Jawa bagian timur terdapat sebuah gunung besar bernama Mahameru. Karena besarnya gunung ini, pulau Jawa makin lama makin miring ke arah timur. Ujung  timur pulau Jawa tenggelam dan ujung baratnya terangkat ke atas. 

Para dewa sangat prihatin sehingga  menghadap Batara Guru untuk melaporkan masalah ini. 

Batara Guru kemudian mengumpulkan para dewa. Ia memerintahkan supaya mereka mengangkat gunung Mahameru dan memindahkannya ke arah barat.

Para dewa bersama-sama mengangkat gunung yang sangat besar itu dan terbang membawanya ke arah barat. Ketika diangkat, puncak gunung jatuh dan menjadi gunung Semeru. 

Mereka terus membawa gunung Mahameru ke barat. Sebagian demi sebagian gunung jatuh. Bagian-bagian yang jatuh itu membentuk deretan gunung baru.

Ketika para dewa tiba di tengah-tengah pulau Jawa,  gunung  yang mereka bawa tinggal sedikit.   Mereka pun memutuskan untuk meletakkan sisa gunung itu, yang kemudian membentuk gunung kecil . Gunung itu kemudian  disebut gunung Tidar.

Karena letaknya yang tepat di tengah pulau Jawa, gunung Tidar menjadi pakunya pulau Jawa. Pulau Jawa pun tidak lagi miring ke timur.