Harimau dari Chao-Cheng

Selasa, 02 Oktober 2012

| | | 2 komentar

Di kota  Chao-cheng hidup seorang wanita tua. Wanita itu mempunyai seorang anak laki-laki. Pada suatu hari, pemuda itu mendaki bukit dan dimangsa harimau. Sang ibu sangat berduka sehingga tidak ingin hidup lebih lama lagi.

Sambil meratapi anaknya, ia pergi menghadap hakim. Hakim menertawakannya dan mengatakan bahwa ia tidak dapat membantu ibu karena tentu saja tidak ada hukum bagi harimau yang memangsa anaknya. Ibu itu terus memohon, sehingga hakim merasa iba dan berjanji akan memenjarakan sang harimau. 

Hakim memerintahkan anak buahnya untuk menangkap harimau. Salah seorang dari mereka, Li Neng yang saat itu sedang mabuk, menyanggupi perintah itu. Sang ibu pun pulang ke rumahnya.
Ketika Li Neng sadar dari mabuknya, ia menyesal telah menerima perintah untuk menangkap harimau itu. Ia menghadap hakim dan memohon agar perintah itu dicabut.

“Li Neng,” kata hakim, “kau telah menyatakan sanggup menangkap harimau itu. Sekarang kau harus melaksanakannya.”

Sebulan lamanya Li Neng mencari harimau itu namun belum juga menemukannya. Li Neng sudah putus asa. Ia takut pada hukuman yang akan diterimanya karena tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada suatu hari ia pergi ke sebuah kuil. Ia berlutut dan berdoa sambil menangis.
Tiba-tiba seekor harimau masuk ke dalam kuil. Li Neng ketakutan. Pasti harimau itu akan memangsanya. Namun harimau itu seolah tidak melihatnya, ia duduk di pintu kuil.

“Harimau,” kata Li Neng dengan gemetar, “jika engkau telah memangsa putera ibu tua itu, biarkan aku mengikatmu dengan tali ini.”

Li Neng melemparkan tali jerat kepada harimau dan harimau itu diam saja. Ia menurut ketika Li Neng menuntunnya menghadap hakim.

Hakim mengadili harimau itu.

“Apakah kau memangsa putera wanita tua itu.”

Harimau mengangguk mengiyakan.

“Menurut hukum, pembunuh dijatuhi hukuman mati. Lagi pula wanita tua itu hanya memiliki satu anak laki-laki. Sekarang tak ada lagi yang menghidupinya.”

“Namun, bila kau mau menggantikan anaknya itu, kejahatanmu akan diampuni.”

Harimau mengangguk.

Hakim memerintahkan untuk melepaskan harimau , yang segera pergi ke hutan. Ibu tua sangat marah dan kecewa karena pembunuh anaknya tidak dihukum malah dibebaskan.

Keesokan harinya, ketika ibu tua membuka pintu rumahnya, di depan pintu itu tergeletak seekor rusa. Ibu tua  menjual daging dan kulit rusa untuk membeli makanan.

Sejak saat itu harimau selalu membawakan hewan buruan untuk ibu tua. bahkan kadang-kadang ia membawa uang dan barang berharga sehingga ibu tua menjadi kaya. Kehidupannya lebih baik daripada seandainya puteranya sendiri yang merawatnya.

Wanita tua itu menjadi sangat sayang kepada harimau. Harimau sering tidur di teras rumahnya sepanjang hari.

Beberapa tahun kemudian ibu tua meninggal. Harimau meraung sedih.

Tabungan ibu tua itu cukup banyak untuk mengadakan ucapara pemakaman yang mewah. Sanak keluarganya menghadiri pemakaman. Mereka berdiri mengelilingi makam. Tiba-tiba seekor harimau muncul sehingga semua orang lari ketakutan. Ternyata harimau itu hanya ingin memberikan penghormatan terakhir. Ia naik ke atas gundukan tanah makam dan meraung keras, kemudian ia menghilang ke dalam hutan.

Orang-orang di sekitar tempat itu kemudian mendirikan sebuah tugu peringatan untuk menghormati harimau yang setia itu.

Gambar: http://www.picturesof.net/_images_300/A_Tiger_Laying_Down_and_Resting_Royalty_Free_Clipart_Picture_091112-230730-879009.jpg

Kisah Seorang Ibu

Minggu, 29 Juli 2012

| | | 1 komentar

Seorang ibu duduk bersama anaknya yang masih kecil. Ia begitu sedih, begitu takut anaknya akan meninggal. Anak itu begitu pucat, mata kecilnya telah menutup dengan sendirinya, dan ia menghela nafas begitu lembut, sekali-kali ia menghela nafas dalam-dalam, dan ibunya memandanginya lebih sedih lagi pada makhluk kecil itu.
Kemudian terdengar ketukan di pintu dan i laki-laki tua masuk. Ia mengenakan mantel yang tebal. Saat itu musim dingin. Di luar rumah semua tertutup es dan salju dan angin bertiup kencang sehingga melukai wajah.
Laki-laki tua itu gemetar kedinginan dan anak kecil itu tertidur. Maka sang ibu menuangkan ale dan menghangatkannya untuk laki-laki tua itu.  Laki-laki itu duduk dan menggoyangkan ayunan bayi, sang ibu duduk di kursi di dekatnya, memandangi anaknya yang sakit, yang menghela nafas begitu dalam dan mengangkat tangannya yang kecil.
“Apakah anda pikir aku tidak dapat menyelamatkannya?” kata ibu, “Tuhan tidak boleh mengambilnya dariku.”
Dan laki-laki tua itu yang ternyata adalah Maut sendiri, menggangguk aneh, seolah menjawab ya sekaligus tidak. Dan sang ibu menunduk memandangi pangkuannya, air mata mengalir menuruni pipinya, kepalanya terasa berat, ia tidak tidur selama tiga hari tiga malam. Sekarang ia tertidur, hanya selama satu menit, ia mendadak bangun dan gemetar kedinginan.
“Apa itu?” katanya, memandang ke sekelilingnya. Orang tua itu sudah tak ada dan anaknya juga tidak ada. Ia pasti telah membawa anak kecil itu. Jam tua di sudut ____ , bandulnya yang besar mengelinding di lantai dan jam itu mati.
Ibu malang itu lari keluar rumah dan berteriak keras-keras memanggil anaknya.
Di luar sana, di tengah hujan salju, duduk seorang wanita dengan pakaian hitam panjang. Ia berkata, “Maut masuk ke kamarmu dan aku melihat ia bergegas pergi membawa anakmu. Ia berjalan lebih cepat dari angin, dan ia tidak pernah mengembalikan apa yang telah diambilnya.”
“Oh, tolong katakan ke mana ia pergi,” kata sang ibu. “Tunjukkan arahnya dan aku akan menemukannya!”
“Aku tahu ke mana ia pergi,” kata wanita berpakaian hitam. “Namun sebelum kukatakan kepadamu, kau harus menyanyikan semua lagu yang kaunyanyikan untuk anakmu! Aku suka sekali lagu-lagumu. Aku pernah mendengarmu menyanyi. Aku Sang Malam. Aku melihat air matamu ketika kau menyanyi.”
“Aku akan menyanyikannya untukmu, semuanya,” kata sang ibu. “Namun jangan halangi aku. Kalau aku cepat, aku dapat menemukan anakku.”

Namun sang Malam tak bergerak atau mengatakan apa-apa. Maka sang ibu menyanyi sambil memilin-milin tangannya dan menangis. Begitu banyak lagu dinyanyikannya dan lebih banyak lagi air matanya menetes. Kemudian sang Malam berkata, “Pergilah ke kanan, ke arah hutan pinus yang gelap itu, ke sana aku lihat Maut membawa anakmu.”
Sang ibu berjalan hingga tiba di persimpangan jalan di tengah hutan. Ia tak tahu harus ke mana. Dilihatnya sebuah semak berduri yang sudah tidak mempunyai daun dan bunga. Serpihan es menggantung pada cabang-cabangnya.
“Apakah kau melihat Maut lewat di sini membawa anakku yang masih kecil?” kata sang ibu.
“Ya,” kata semak berduri. “Namun aku tidak mau memberitahumu ke mana ia pergi, kecuali kau mau menghangatkanku. Aku hampir mati kedinginan dan menjadi gumpalan es.”
Sang ibu pun memeluk semak berduri begitu erat agar semak berduri benar-benar merasa hangat, sehingga duri-duri melukai tubuhnya dan darahnya menetes. Daun-daun segar dan hijau mulai bermunculan  dan berikutnya bunga-bunga mulai berkembang di tengah malam musim dingin, karena hati seorang ibu yang ____ begitu hangat. Semak berduri kemudian menunjukkan ke mana sang ibu harus pergi.
Sang ibu kemudian tiba di sebuah danau yang luas, di mana tidak ada kapal atau perahu. Danau itu tidak terlalu beku sehingga tidak dapat menahan berat tubuhnya, juga tidak terbuka atau cukup dangkal sehingga ia dapat berjalan menyeberanginya. Maka ia itu berbaring untuk meminum air danau. Yang jelas-jelas mustahil dilakukan seorang manusia, namun ibu yang ____ berpikir bahwa mungkin terjadi mujizat.
“Apa pun akan kuberikan untuk mendapatkan kembali anakku!” kata sang ibu sambil menangis. Ia masih terus menangis hingga sepasang matanya jatuh dan tenggelam ke dasar danau dan menjelma menjadi sepasang mutiara yang indah. Namun air danau menyapunya seolah ia duduk di atas ayunan dan ia terbawa ombak yang mengayunnya ke seberang. Di sana berdiri sebuah rumah besar yang aneh. Namun sang ibu tidak dapat melihatnya karena kedua matanya sudah hilang.
“Di mana aku akan menemukan Maut yang telah mengambil anakku?” katanya.
“Ia belum datang,” kata seorang wanita tua yang bertugas merawat rumah besar itu.  “Bagaimana kau bisa sampai ke sini? Siapa yang telah menolongmu?”
“Tuhan menolongku,” kata sang ibu. “Di mana aku dapat menemukan anakku?”
“Kau tak dapat melihat!” kata wanita tua itu. Banyak bunga dan tanaman mati malam ini. Maut akan segera datang dan menanam mereka kembali. “
“Kau tentu tahu, setiap orang mempunyai pohon atau bunga kehidupan mereka sendiri. Mereka tampak seperti pohon biasa, namun jantung mereka berdenyut. Begitu juga pohon anakmu. Mungkin kau ingin tahu mana pohon anakmu, namun apa yang akan kau berikan kepadaku bila aku memberitahumu?
“Aku tak punya apa-apa lagi,” kata ibu yang afflicted. “Namun aku mau pergi pergi ke ujung dunia untukmu.”
“Tidak. Mau apa aku di sana?” kata wanita itu. “Namun kau bisa memberikan rambutmu yang hitam panjang itu kepadaku. Kau boleh mengambil rambutku yang putih ini.”
Sang ibu memberikan rambutnya yang hitam dan sebagai gantinya ia mengambil rambut putih wanita tua itu.
Wanita tua itu mengajak sang ibu masuk ke dalam kebun sang Maut. Tanaman bunga dan pohon tumbuh saling melilit di sana. Tanaman-tanaman itu semua nampak terawat dan disayangi. Semua tanaman memiiki nama dan di dalam mereka ada nyawa manusia yang masih hidup.
Ibu yang sedih itu mendekati semua tanaman yang terkecil dan mendengarkan detak jantung mereka. Di antara jutaan tanaman di sana dia dapat mengenali detak jantung anaknys.
“Ini dia!” jeritnya sambil menjulurkan tangannya kepada tanaman kecil berbunga biru yang sudah mulai layu.
“Jangan sentuh bunga itu!” kata wanita tua. “Kau tetaplah di situ. Dan bila Maut datang tak lama lagi, jangan biarkan ia mencabutnya. Ancam dia, katakan kau akan mencabut tanaman lain. Ia pasti takut karena ia bertanggung jawab kepada Tuhan dan tak seorang pun boleh mencabut tanaman sebelum ia memberi ijin.”
Tiba-tiba hawa dingin memasuki kebun itu dan ibu yang buta itu dapat merasakan bahwa Maut sudah datang.
“Bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanyanya. “Bagaimana kau bisa lebih cepat dari aku?”
“Aku seorang ibu,” jawabnya.
“Aku hanya menjalankan perintah Tuhan,” kata Maut. “Aku tukang kebun Nya, aku mengambil semua pohon dan tanaman dan menanamnya kembali di taman Surga. Namun aku tak dapat mengatakan kepadamu bagaimana keadaan di sana.”
“Kembalikan anakku!” ratap ibu. Ia memegang dua tanaman bunga yang cantik di dekatnya dengan kedua tangannya. “Aku akan merusak semua tanamanmu karena aku putus asa.”
“Jangan sentuh!” kata Maut. “Kau mengatakan bahwa kau sangat sedih dan sekarang kau akan membuat ibu lain sama sedihnya denganmu.”
“Ibu lain?” kata wanita malang itu dan langsung melepaskan pegangannya pada kedua tanaman itu.
“Ambillah matamu ini,” kata Maut. Aku mengambilnya di dasar danau. Mata ini bersinar begitu terang dan aku tahu ini milikmu. Ambillah kembali, mata ini sekarang lebih terang dari sebelumnya.”
“Aku akan memberitahumu nama kedua bunga yang tadi hampir kaucabut dan kau akan melihat masa depan mereka, keberadaan mereka sebagai manusia. Lihatlah apa yang hampir kauhancurkan.”
Sang ibu melihat ke dalam sumur dan begitu bahagia melihat salah satunya membawa berkat bagi dunia dan betapa banyak kebahagiaan yang terasa di mana-mana. Kemudian ia melihat kehidupan yang satu lagi, penuh kesedihan, ketakutan dan kehancuran.
“Keduanya adalah kehendak Tuhan,” kata Maut.
“Yang mana bunga yang malang dan yang bahagia itu?”

“Aku tidak dapat mengatakannya kepadamu.” kata Maut. “Namun salah satunya adalah bunga anakmu. Kau telah melihat masa depan anakmu sendiri”

Sang ibu menjerit ketakutan. “Mana di antaranya anakku? Katakan! Selamatkan anakku dari kesengsaraan. Bawalah ia ke surga! Lupakan air mataku! Lupakan doaku dan apa yang telah kulakukan!”
“Aku tak mengerti,” kata Maut “Kau mau mengambil anakmu atau biarkan aku membawanya ke sana, ke tempat yang tidak kau ketahui?”
Sang ibu memilin-milin tangannya, jatuh berlutut dan berdoa, “Jangan dengarkan ketika aku berdoa melawan kehendakMu. KehendakMu lah yang tebaik. Jangan dengarkan aku!”
Ia membungkukkan kepalanya ke pangkuan dan maut mengambil anaknya dan pergi ke tempat yang tak seorang pun tahu.
 Seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya.

Gambar: http://spiritoftheages.com/The%20Story%20of%20a%20Mother%20(Kay%20Nielsen)%20(detail)%20(300).jpg

Kisah Tukang Batu dan Roh Gunung

| | | 0 komentar


Dahulu kala hiduplah seorang tukang batu. Tiap hari ia pergi ke gunung dan memotong batu besar yang ada di sana. Ia sangat trampil. Ia tahu jenis  batu yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Karena hasil karyanya bagus, ia memiliki banyak pelanggan yang memesan berbagai peralatan dari batu.

Tukang batu itu hidup bahagia dan berkecukupan. Ia tak pernah menginginkan melebihi yang yang telah dimilikinya.

Di gunung itu tinggal roh yang kadang-kadang terlihat oleh orang-orang. Ia sering membantu orang menjadi kaya dan makmur. Tukang batu tidak pernah melihat roh itu dan tidak mempercayai cerita orang-orang tentang roh itu.
Pada suatu hari tukang batu mengantarkan pesanan ke rumah seorang kaya. Di dalam rumah orang kaya itu ia melihat banyak barang yang indah dan mewah yang tak pernah diimpikannya. Ketika pada suatu hari ia merasa lelah bekerja dan pekerjaannya dirasakannya kian berat, ia berkata pada dirinya sendiri, “Seandainya aku kaya raya, tempat tidurku empuk dan berlapis kain sutera, betapa bahagianya aku!”

Sebuah suara menjawab, “Keinginanmu dikabulkan, sekarang kau kaya raya!”
Tukang batu itu memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat orang lain.

“Ah, cuma bayanganku saja,” katanya dalam hati.

Ia pun membenahi peralatannya dan pulang. Ketika tiba di rumah kecilnya, ia sangat terkejut karena rumahnya telah berubah menjadi gedung yang mewah, dengan perabotan yang sangat indah, terutama tempat tidur indah seperti yang diimpikannya. Ia sangat bahagia dan segera melupakan kehidupan lamanya.

Musim panas tiba. Matahari bersinar terik setiap hari. Pada suatu siang tukang batu merasa kepanasan, maka ia pun keluar rumah dan melihat-lihat jalan di depan rumahnya. Sebuah kereta mewah lewat, ditarik oleh para pelayan berpakaian seragam. Di dalam kereta itu duduk seorang pangeran, seorang pelayan membawa payung keemasan untuk melindungi pangeran dari terik matahari.

Tukang batu memandangi kereta hingga lenyap di kelokan jalan.
“Oh,” katanya dalam hati. “Andai saja aku seorang pangeran, naik kereta dan dipayungi dengan payung emas, langkap bahagianya!”

Tiba-tiba ia menjadi pangeran. Ia dikelilingi pelayan yang mengiringi keretanya dan memayunginya serta melayaninya. Namun ia kemudian menyadari, walaupun dilindungi payung, kulitnya makin hari makin cokelat hingga ia berteriak, “Matahari lebih lebat dariku, aku mau jadi matahari saja!”

Sekali lagi keinginannya terpenuhi, pangeran berubah menjadi matahari. Ia sangat bangga. Ia sekuat tenaga menyorotkan sinar ke bumi hingga rumput layu dan wajah orang-orang menjadi cokelat. Namun ia menjadi bosan dengan kekuatannya sendiri. Apalagi ketika awan menutupi wajahnya dan menghalangi sinarnya ke bumi. “Jadi awan itu lebih hebat dariku? Aku ingin jadi awan!”

Ia menangkap sinar matahari sehingga tidak dapat mencapai bumi. Rumput dan tumbuhan menjadi hijau dan segar. Ia mencurahkan hujan terus menerus hingga sungai meluap. Sawah-sawah tergenang dan tanaman padi terendam air. Namun ada satu yang tidak bergeming, yaitu batu besar di gunung.
“Oh, “ kata awan, “jadi batu itu lebih kuat dariku? Mengapa aku tidak menjadi batu saja?”

Tiba-tiba awan itu jatuh ke tanah dan berubah menjadi batu gunung yang besar. Ia sangat senang dan bangga. Sekarang ia yang paling hebat! Pada suatu hari ia mendengar bunyi ketukan berulang-ulang dan merasa kakinya tergelitik. Dilihatnya seorang tukang batu menancapkan pahat di kakinya dan mengetuk pahat itu dengan palu. Ia ketakutan melihat sebongkah batu besar jatuh dari kakinya. “Aduh, lama-lama tubuhku habis! Manusia ternyata lebih hebat dariku. Seandainya aku menjadi manusia.”

Seperti sebelumnya, roh gunung itu menjawab, “Keinginanmu dikabulkan. Jadilah kau manusia!”

Jadilah ia menjadi manusia kembali, menjadi tukang batu.  Tempat tidurnya keras dan ia hanya memiliki makanan secukupnya, namun ia sudah puas. Tak pernah lagi ia menginginkan lebih dari yang dimilikinya atau menjadi sesuatu atau seseorang yang bukan dirinya. Ia bahagia dan tak pernah mendengar suara roh gunung lagi.

Cinde Laras

Rabu, 11 Juli 2012

| | | 0 komentar



Dahulu kala ada sebuah kerajaan bernama Kediri di Jawa Timur. Kerajaan itu dipimpin oleh raja bernama Raden Putra. Raden Putra kaya raya dan berkuasa. Kegemarannya menyabung ayam.
Raden Putra memiliki permaisuri dan beberapa orang selir. Seorang selirnya ingin merebut kedudukan permaisuri. Ia memfitnah permaisuri dan mengatakan bahwa permaisuri menaruh racun pada makanan raja. Sang raja murka. Tanpa berpikir panjang dan memeriksa kebenaran berita itu, ia memerintahkan prajurit untuk membawa permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Para prajurit membawa permaisuri ke hutan, namun mereka tidak sampai hati membunuh permaisuri yang baik hati dan bijaksana. Apalagi ia sudah mengandung. Mereka dengan berat hati meninggalkan permaisuri di hutan. Mereka menangkap seekor rusa dan membawa jantungnya kepada raja sebagai bukti bahwa mereka telah membunuh permaisuri.

Beberapa bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan sehat. Bayi itu diberi nama Cinde Laras.

Cinde Laras tumbuh menjadi anak yang kuat dan cerdas. Ia suka bermain di hutan. Pada suatu hari ia menemukan sebutir telur ayam. Cinde Laras membawa telur itu pulang dan merawatnya hingga menetaskan seekor anak ayam jantan. Anak ayam itu dengan cepat tumbuh menjadi besar.

Seperti ayahnya, Cindelaras suka menyabung ayam. Ia pergi ke desa-desa tetangga untuk menyabung ayam. Ayam jagonya sangat kuat dan selalu menang melawan ayam-ayam jago lain. Cindelaras menjadi terkenal. Semua orang mendengar cerita tentang anak laki-laki itu dan ayam jagonya.

Sang raja juga mendengar berita tentang ayam jago yang tak terkalajkan dan pemiliknya yang masih bocah. Raja mengundang Cinde Laras ke istana untuk melihat ayam jago terkenal itu bertarung.
Ketika Cinde Laras datang di istana, raja terkesiap. “Katanya anak ini  tinggal di hutan, namun tindak tanduknya seperti anak bangsawan,” pikirnya.

Raja mengajak Cinde Laras mengadu ayam. Cinde Laras mengajukan syarat, bila ia memenangkan pertandingan itu, raja harus merelakan setengah kerajaan untuk diberikan kepadanya. Raja langsung setuju. Ayam-ayam jagonya semua ayam pilihan dan dirawat dengan sangat baik. Tak mungkin ayam jago Cinde Laras bisa menang.

Raja memilih ayamnya yang terbaik untuk melawan ayam Cinde Laras, namun dengan mudah dikalahkan. Semua orang terkejut. Mereka lebih heran lagi ketika ayam Cinde Laras berkokok.

Bunyinya, “Kukuruuyuuuk...! Akulah ayam jago Cindelaras, yang hidup di hutan, tapi ia anak Raden Putra!”

Ayam itu berkokok lantang berulang-ulang. Raja sangat terkejut. Ia kemudian memanggil Cindelaras mendekat.

"Siapa namamu? Di mana rumahmu?” tanya raja.

“Nama saya Cinde Laras, yang mulia. Saya tinggal bersama ibu di hutan"

“Siapa nama ibumu?”

Cinde Laras menyebutkan nama ibunya dan raja terperanjat.

"Apakah benar ia anakku?" tanyanya dalam hati.

Raja memerintahkan prajurit untuk mengawalnya dan Cinde Laras ke rumahnya di hutan.
Di sana raja melihat seorang wanita dan langsung mengenalinya sebagai permaisuri yang dulu hendak dibunuhnya. Permaisuri menceritakan bahwa ia difitnah dan ia melahirkan Cinde Laras.

Raja sangat menyesal karena ia dulu terburu nafsu. Ia mengajak permaisuri dan Cinde Laras kembali ke istana.

Raja mengukuhkan kembali kedudukan permaisuri dan menghukum selir yang jahat itu. Setelah raja meninggal, Cinde Laras menggantikannya menjadi raja. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana.

Gambar: http://elzhito.files.wordpress.com/2012/02/cindelaras.jpg

Iman Dapat Memindahkan Gunung

Minggu, 08 Juli 2012

| | | 0 komentar


Nasredin Hoja selalu menyombongkan kekuatan imannya.

“Jika imanmu begitu kuat, berdoalah supaya gunung itu menghampirimu,” ujar seseorang sambil menunjuk sebuah gunung di kejauhan.


Hoja berdoa dengan khusuk, namun tentu saja gunung itu tidak bergeming. Ia terus berdoa, namun gunung itu tetap berdiri di tempatnya semula.

Akhirnya Hoja bangkit dan berjalan ke arah gunung itu.

“Hoja orang yang rendah hati,” katanya, "dan iman Hoja tidak kaku. Jika gunung tidak mau menghampiri Hoja, maka Hoja akan mendatangi gunung itu.”

Lopian, Puteri Sisingamangaraja XII

| | | 0 komentar


Sebuah Monumen berdiri di kota Porsea, Toba Samosir, Sumatera Utara. Monumen itu adalah Monumen Srikandi Lopian.

Pada prasasti monumen itu tertulis:

Seorang gadis belia yang ikut berjuang dan berkorban melawan penjajah Belanda, gugur dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 di Aek Sibulbulon Pearaja Dairi, dia adalah Putri Lopian.

Ayahandanya Raja Sisingamangaraja XII, saudaranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi gugur bersama pejuang lainnya dalam pertempuran tersebut.


Lopian adalah anak ketiga Sisingamangaraja dan satu-satunya anak perempuan. Ibunya adalah Boru Sahala. Ia lahir di Pearaja Dairi desa Sionomhudon. Kota itu adalah pusat perjuangan Sisingamangaraja XII. Lopian sedari kecil bergaul dengan para pejuang termasuk para panglima dari Aceh.

Pada awal tahun 1907, Belanda mulai mendekati Pearaja Dairi. Sisingamangaraja mengungsikan para wanita dan anak-anak ke tempat lain. Ia telah bertekad untuk berjuang mempertahankan Pearaja Dairi.

Lopian saat itu berusia tujuh belas tahun. Ia tidak mau ikut mengungsi karena ingin bersama ayah dan kakak-kakaknya.

Dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 pejuang Sisingamangaraja terdesak. Pasukan Belanda jauh lebih banyak dan membawa persenjataan yang lebih lengkap.

Konon Sisingamangaraja kebal, tidak dapat dilukai oleh tembakan peluru. Namun ada pantangan yang tidak boleh dilanggarnya, ia tidak boleh terkena darah. Lopian tertembak, sang raja langsung menghampiri dan memeluk putri kesayangannya itu. Akibatnya ia terkena darah Lopian. Ketika tertembak pasukan Belanda, ia pun tewas.

Seluruh pasukan tewas oleh tentara Belanda. Jenazah raja Sisingamangaraja dan kedua puteranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa oleh tentara Belanda ke Balige dan kemudian dimakamkan di Tarutung. Namun jenazah Lopian dan para panglima Aceh ditimbun di jurang. Hingga kini jenazah putri pemberani itu tidak dapat ditemukan.

Puteri dan Sebutir Kacang Polong

| | | 0 komentar






















Dahulu kala hidup seorang pangeran. Ia ingin menikah dengan seorang puteri, namun haruslah seorang puteri sejati. Ia berkelana ke mana-mana dan bertemu banyak puteri namun tidak menemukan puteri sejati. Dengan sedih ia pulang .
Pada suatu malam, hujan turun disertai badai. Guntur menggelegar dan petir menyambar-nyambar. Tiba-tiba terdengar ketukan di gerbang istana. Raja membukakan gerbang. Di sana berdiri seorang puteri. Ia basah kuyup dan kedinginan. Namun walaupun air menetes-netes dari rambut dan pakaiannya ia nampak seperti puteri sejati.

“Kita lihat saja nanti,” kata ratu dalam hati. Ia tertarik melihat puteri itu, namun ratu harus membuktikan bahwa ia adalah seorang puteri sejati.
Ratu pergi ke kamar tidur yang disiapkan untuk puteri itu. Ia menumpuk dua puluh buah kasur.  Di bawah kasur-kasur itu ia meletakkan sebutir kacang polong. Ia kemudian mempersilahkan puteri tidur.
Esok paginya, ratu menanyakan apakah puteri tidur nyenyak semalam.
“Oh, “ kata puteri, “aku tidak dapat memejamkan mataku. Ada apakah di tempat tidur itu? Aku merasa seperti tidur di atas sesuatu yang keras di bawah kasur itu sehingga seluruh tubuhku sakit dan memar-memar!”
Tahulah mereka bahwa ia benar-benar seorang puteri sejati karena ia dapat merasakan kacang polong melalui begitu banyak kasur. Hanya puteri sejati yang memiliki kepekaan seperti itu.
Pangeran menikahi puteri karena ia tahu bahwa ia adalah puteri sejati. Kacang polong itu disimpan di museum.

Tak Terkalahkan Oleh Api

| | | 0 komentar




Pada suatu malam di bulan Desember 1914, kompleks laboratorium Thomas Alva Edison terbakar. Kompleks itu terdiri dari 6 bangunan. Semuanya terbakar habis. Kerugian diperkirakan sekitar 2 juta dollar, belum termasuk hancurnya semua penemuan dan catatan kerja Edison seumur hidupnya.

Malam itu, pada saat terjadi kebakaran, putera Thomas, Charles khawatir akan ayahnya. Ia berlari-lari dengan panik mencari sang ayah. Charles menemukan Thomas sedang berdiri memandangi api. Mukanya merah dan rambut putihnya berkibar-kibar ditiup angin. Ketika melihat Charles, Thomas berteriak, “Mana ibumu?”

“Ajak dia ke sini,” lanjutnya.  “Ia tak akan pernah melihat kejadian seperti ini lagi seumur hidupnya!”

Malam itu Thomas berkata, “Walaupun aku sudah berumur 67 tahun, aku akan memulai lagi besok.”

Keesokan harinya, Thomas berjalan-jalan di dekat bara api yang telah menghancurkan begitu banyak impian dan harapannya. “Ada nilai yang besar dalam bencana. Semua kesalahan kita terbakar habis. Syukurlah kita dapat memulai lembaran baru! Kita akan membangun yang lebih baik dan lebih besar di atas puing-puing ini.”

Dengan bantuan sahabatnya Henry Ford,  Edison langung membangun kembali laboratoriumnya. Tiga minggu setelah kebakaran itu, Edison menyelesaikan phonograph
Gambar: http://www.precinemahistory.net/images/edison_phonograph_poster.jpg

Asal-Usul Telaga Warna

| | | 0 komentar

















Dahulu kala sebuah kerajaan berdiri di Jawa Barat. Kerajaan itu diperintah oleh seorang prabu yang arif bijaksana. Rakyatnya hidup sejahtera.

Sayang sekali Prabu dan permaisurinya tidak dikaruniai keturunan. Bertahun-tahun mereka menunggu kehadiran seorang anak, hingga sang Prabu memutuskan untuk pergi ke hutan dan berdoa. Ia memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memberinya keturunan.
Seluruh kerajaan ikut bergembira ketika akhirnya doa Prabu dan Permaisuri dikabulkan. Permaisuri mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik.

Puteri tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Karena ia puteri satu-satunya dan kelahirannya dulu begitu lama dinantikan, ia sangat dimanja. Semua keinginannya dituruti.

Sekarang sang puteri sudah dewasa. Sebentar lagi ia akan berusia tujuh belas tahun. Rakyat kerajaan mengumpulkan banyak sekali hadiah untuk puteri tercinta mereka. Sang Prabu mengumpulkan semua hadiah dari rakyat dan berniat akan membagi-bagikannya kembali kepada mereka.

Ia hanya menyisihkan sedikit perhiasan emas dan permata. Ia kemudian meminta tukang perhiasan untuk melebur emas itu dan membuatnya menjadi sebuah kalung permata yang indah untuk puterinya.

Pada hari ulang tahun sang puteri, Prabu menyerahkan kalung itu.
“Puteriku, sekarang kau sudah dewasa. Lihatlah kalung yang indah ini. Kalung ini hadiah dari rakyat kita. Mereka sangat menyayangimu. “

“Pakailah kalung ini, nak.”

Rakyat kerajaan sengaja datang berduyun-duyun untuk melihat sang puteri pada hari ulang tahunnya. Mereka ingin melihat kalung yang sangat elok bertaburan batu permata berwarna-warni itu menghias leher puteri kesayangan mereka.

Puteri hanya melirik kalung itu sekilas.

Prabu dan Permaisuri membujuknya agar mau mengenakan kalung itu.
“Aku tidak mau,’ jawab puteri singkat.

“Ayolah, nak,” kata permaisauri, ia mengambil kalung itu hendak memakaikannya di leher puterinya.”

Namun puteri menepis tangan permaisuri hingga kalung itu terbanting ke lantai.

“Aku tak mau memakainya! Kalung itu jelek! Jelek!” jeritnya sambil lari ke kamarnya.

Permaisuri dan semua yang hadir terpana. Kalung warna-warni yang indah itu putus dan permatanya berserakan di lantai.

Permaisuri terduduk dan mulai menangis. Lambat laun semua wanita ikut menangis, bahkan para pria pun ikut menitikkan air mata. Mereka tak pernah mengira sang puteri dapat berbuat seperti itu.

Tiba-tiba di tempat kalung itu jatuh muncul sebuah mata air yang makin lama makin besar hingga istana tenggelam. Tak hanya itu, seluruh kerajaan tergenang oleh air, membentuk sebuah danau yang luas.

Danau itu sekarang tidak seluas dulu. Airnya nampak indah berwarna-warni karena pantulan warna langit dan pohon-pohonan di sekelilingnya. Namun orang percaya bahwa warna-warna indah danau itu berasal dari kalung sang puteri yang ada di dasarnya.Danau itu disebut Telaga Warna, letaknya di daerah Puncak, Jawa Barat.

The Wolf And the Crane

Selasa, 03 Juli 2012

| | | 0 komentar

A Wolf had been gorging on an animal he had killed, when suddenly a small bone in the meat stuck in his throat and he could not swallow it. He soon felt terrible pain in his throat, and ran up and down groaning and groaning and seeking for something to relieve the pain. He tried to induce every one he met to remove the bone.

"I would give anything," said he, "if you would take it out." 

At last the Crane agreed to try, and told the Wolf to lie on his side and open his jaws as wide as he could. Then the Crane put its long neck down the Wolf's throat, and with its beak loosened the bone, till at last it got it out.

"Will you kindly give me the reward you promised?" said the Crane.

The Wolf grinned and showed his teeth and said: "Be content. You have put your head inside a Wolf's mouth and taken it out again in safety; that ought to be reward enough for you."

Gratitude and greed go not together.

Narcissus dan Echo

Kamis, 07 Juni 2012

| | | 0 komentar

Narcissus adalah seorang pemuda yang sangat rupawan . Banyak yang menyukainya namun Narcissus menolak semuanya. Narcissus suka diperhatikan dan dipuji.  Tak seorang pun sebanding dengan dirinya, demikian selalu terngiang-ngiang di telinganya dan ia suka mengamati rasa iri yang terpancar di wajah orang yang memandangi wajahnya.


Seorang peri hutan bernama Eccho menyukai Narcissus. Rasa cintanya kepada pemuda itu  sebanding dengan kesukaannya membalas perkataan orang lain. Echo selalu berbicara hingga lawan bicaranya tak dapat menjawab lagi.

Pada suatu hari dewi Juno sedang mencari suaminya Jupiter di hutan . Echo mengajak Juno mengobrol sehingga Jupiter yang ingin menghindari isterinya dapat melarikan diri.  Juno gusar, Echo yang sangat suka berbicara itu dikutuknya sehingga hanya bisa menirukan suara yang didengarnya.


Echo sering menunggu Narcissus di dalam hutan, berharap Narcissus melihatnya. Pada suatu hari Narcissus mendengar suara langkah Echo yang mengikutinya di hutan. Ia berseru, “Siapa?” dan Echo menyahut, “Siapa?”


“Kemarilah!” seru Narcissus


“Kemarilah!” tiru Echo.


Narcissus memanggil Echo untuk mendekat. Peri itu sangat bahagia dan karena ia tidak dapat mengatakan siapa dirinya dan rasa cintanya kepada Narcissus, ia memeluk pemuda itu. Narcissus medorongnya dengan marah dan mengusirnya.


Rasa duka yang mendalam membawa Echo kepada ajalnya. Tubuhnya berubah menjadi batu gunung, namun ia tetap menjawab semua suara yang didengarnya.


Narcissus tetap suka mendekati peri-peri dan dalam sekejab meninggalkan mereka. Para dewa kesal dengan tingkah lakunya. Mereka ingin menghukumnya agar ia merasakan perasaan cinta yang dalam namun tidak mendapatkan balasan. Mereka menciptakan sesuatu yang akan dicintainya. Sesuatu yang tidak nyata dan tidak akan pernah membalas rasa cintanya.


Pada suatu hari Narcissus berjalan-jalan di hutan dan menjumpai sebuah kolam. Ia memandang permukaan air kolam dan melihat bayangan.  “Ia cantik sekali,” katanya dalam hati. “Pasti ia peri air yang tinggal di kolam ini.” Ia tidak mengenali bayangannya sendiri.


Narcissus memandangi bayangannya sendiri, makin lama makin ia terpesona. Ia mengulurkan tangannya dan bayangan itu juga mengulurkan tangan kepadanya. Namun ketika tangan Narcissus menyentuh air, bayangan itu lenyap. Narcissus sangat kecewa. Beberapa saat kemudian air tenang kembali dan bayangan itu muncul kembali. Narcissus mencoba menyentuh bayangannya lagi dan kembali bayangan itu meninggalkannya. Akhirnya ia berbaring telungkup, hanya dapat memandangi sosok yang sangat memikat hatinya.


Nascissus menjerit dalam nestapa. Setiap kali ia menjerit, Echo juga menjerit. Narcissus tidak beranjak dari tepi kolam, tidak makan atau minum. Peri-peri berusaha membujuknya meninggalkan tempat itu. Suara Echo mengulangi semua yang mereka ucapkan. Pemuda itu tidak bergeming hingga akhirnya ia meninggal karena berduka. Tubuhnya menjelma menjadi tumbuhan bunga yang kini disebut bunga Narcissus.


Sekarang orang yang suka mengagumi dirinya sendiri secara berlebihan disebut narsis yang diambil dari nama pemuda tampan yang sombong itu. Dan nama Echo digunakan untuk menamai suara yang memantul dan menjadi gema.

 

Gambar: http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTf8VIXSOfANECgNbP_c0aMnSqh9aeOH60YFfx22yO7Hnt8OWqBtRLLn7iA