Kisah Empat Boneka

Sabtu, 18 Juni 2011

| | |
Dahulu kala hiduplah seorang pembuat boneka. Ia mempunyai seorang putera bernama Aung. Sang ayah ingin Aung menjadi pembuat boneka yang terampil seperti dirinya, namun Aung merasa membuat boneka membosankan.

Pada suatu hari Aung berkata, “Ayah, aku ingin pergi mencari keberuntunganku.”

“Aku lebih suka kau tinggal, nak. Membuat boneka adalah pekerjaan yang terhormat,” kata ayahnya. “Namun bila kau tetap memaksa, bawalah ini sebagai temanmu di perjalanan.
Ia memberikan empat buah boneka kayu yang dipahat, dicat dan diberinya pakaian yang indah.

“Masing-masing boneka mempunyai keistimewaan dan nilai sendiri.”

"Boneka pertama adalah raja dewa. Sang pembuat boneka menjelaskan, “Kelebihan dewa ini adalah kebijaksanaan.”

Boneka kedua adalah raksasa berwajah hijau. “Raksasa ini menyimpan kekuatan.”

Boneka ketiga adalah peramal. “Peramal akan memberimu pengetahuan.”

Yang terakhir adalah pertapa suci. “Ia membawa kebaikan.”

“Masing-masing boneka ini dapat membantumu di perjalanan. Tapi ingatlah, kekuatan dan pengetahuan harus didasari kebijaksanaan dan kebaikan, “ kata sang pembuat boneka.

Aung berangkat esok harinya. Ia membawa sebatang tongkat bambu. Pada satu ujungnya ia mengikat  bungkusan pakaian dan makanan. Dan pada ujung satunya lagi ia menggantungkan boneka-boneka itu. 

Ketika malam tiba, Aung berada di tengah hutan. Ia berhenti di bawah sebatang pohon. “Tempat ini nyaman untuk tidur, tetapi aku tidak tahu apakah cukup aman?” katanya dalam hati, “ Lebih baik aku bertanya kepada salah satu boneka ini.”

Aung tersenyum kepada boneka dewa. “Katakan, apakah aman bila aku tidur di sini?”
Betapa herannya ia ketika boneka itu menjadi hidup. Ia melompat turun dari tongkat bambu dan bertambah besar menjadi seukuran manusia.

“Aung,” kata dewa itu, “Buka matamu dan lihatlah sekelilingmu. Itu langkah pertama kebijaksaan. Bila engkau tidak melihat apa yang ada tepat di depanmu, maka yang lain akan menyesatkanmu.”

Pada detik berikutnya, boneka itu telah kembali tergantung pada tongkat bambu.

Ketika rasa terkejutnya telah hilang, Aung meigamati di sekitar pohon. Pada tanah yang lunak ia melihat jejak harimau. Malam itu ia tidur di atas cabang pohon. Pada waktu tengah malam datanglah seekor harimau yang berkeliaran di bawahnya.

Esok harinya Aung tiba di pegunungan dan pada saat matahari terbenam ia berkemah agak tinggi di lereng gunung. Saat ia terbangun esok paginya, ia melihat iring-iringan kereta di jalan di bawah tempat ia bermalam. Ada dua belas kereta yang penuh muatan barang-barang berharga.

“Kereta-kereta itu pasti milik pedagang yang kaya,” kata Aung pada dirinya sendiri. “Seandainya aku memiliki kekayaan sebanyak itu.”

Kemudian ia bertanya kepada raksasa berwajah hijau. “Katakan padaku bagaimana aku bisa memperoleh harta sebanyak itu?”

Raksasa pun turun dari tongkat dan menjadi sebesar manusia. “Bila kau memiliki kekuatan, kau bisa mengambil apapun yang kau inginkan. Lihatlah,” katanya. Ia menhentakkan kakinya dan bumi berguncang.

“Tunggu!” kata Aung, namun sudah terlamat. Di bawah, tanah dan batu-batu longsor menuruni gunung dan menutup jalan. Para kusir kereta melarikan diri dan meninggal keretanya.

“Kau lihat?” kata raksasa.

“Apakah benar-benar begitu mudah?” kata Aung terkesima.

Ia segera menghampiri kereta-kereta itu, terpesona melihat tumpukan kain-kain yang mahal dan logam mulia. “Ini semua milikku,” katanya.

Tiba-tiba Aung mendengar suara isakan. Di dalam salah satu kereta berbaring seorang gadis cantik sebaya dengannya. Ia menangis dan gemetar ketakutan.

“Aku takkan menyakitimu, siapakah engkau?” kata Aung

“Namaku Mala,” kata gadis itu lirih. “Ayahku pemilik kereta ini. Kami dalam perjalanan menemui ayahku.”

Aung langsung jatuh cinta kepada gadis itu. “Jangan cemas,” katanya, “aku akan membawamu bersamaku dan menjagamu.”

Mala terduduk marah. “Silakan saja! Kau akan mengambilku seperti kau mengambil semuanya. Kau hanya pencuri, aku tak mau bicara denganmu!”

Raksasa berkata, “Ia akan berubah pikiran. Dan yang penting kau telah mendapatkan yang kauinginkan. Ayo kita pergi.”

Raksasa membersihkan jalan dari longsoran dan membantu Aung memimpin kereta. Siang itu mereka meninggalkan pegunungan dan tiba di dekat ibukota.

Aung bertanya kepada raksasa, “Apa yang harus kulakukan dengan harta ini?”

“Jangan bertanya kepadaku,” sahut raksasa, “Bertanyalah kepada peramal.”

Aung pun bertanya kepada peramal, “Kau bisa memberitahuku?”

Boneka peramal pun menjadi hidup dan melayang-layang di depannya. Mala melihat dengan mata terbelalak. “Jika kau ingin hartamu bertambah, kau harus mempelajari rahasia alam,” kata peramal

Ia mengetuk Aung dengan tongkat ajaibnya dan membawanya melayang tinggi di udara. Memandang ke bawah Aung melihat tanah mana yang subur untuk bertani, dan gunung-gunung mana yang mengandung emas dan perak.

“Hebat!” kata Aung, “bayangkan bagaimana aku bisa menolong orang dengan apa yang aku tahu.”

“Tentu saja bisa,” kata peramal. “Tetapi mengapa tidak kau simpan saja sendiri rahasia ini?”
Mereka pun pergi ke ibukota. Aung menjadi pedagang, dan dengan bantuan raksasa dan peramal, kekayaannya telah menjadi berlipat ganda. Ia membangun istana untuk dirinya dan Mala.
Namun Aung tidak bahagia. Mala tetap tidak mau berbicara dengannya.

Pada suatu hari Aung membeli sebuah mahkota yang sangat mahal untuk Mala. Mahkota itu terbuat dari emas dihiasi batu-batu permata yang indah. Namun Mala hanya melihatnya sekilas dan menolaknya.

Aung patah hati. “Tidakkah kau tahu betapa aku mencintaimu?” katanya. Mala hanya memandangnya dan tidak berkata sepatah katapun.

Esok paginya Aung menemui raksasa dan peramal. “Ayah Mala pasti sangat miskin sekarang, sedangkan aku memiliki lebih dari yang kubutuhkan. Aku ingin membantu Mala mencari ayahnya sehingga aku dapat mengembalikan semua yang telah kuambil. Mungkin kemudian ia mau berbicara kepadaku dan bahkan belajar mencintaiku.”

“Itu bukan gagasan yang baik. Kau tak boleh menyerahkan milikmu,” kata raksasa.

“Lagipula, kau terlambat,” kata peramal. “Mala meninggalkanmu semalam.”

Aung terperanjat. Ia mencari ke seluruh rumah namun tidak menemukan Mala.

Ia kembali kepada raksasa dan peramal, “Apa artinya seluruh kekayaanku bila aku kehilangan yang paling kusayangi?” katanya putus asa.

Kali ini raksasa dan peramal membisu.

Kemudian Aung teringat kepada boneka yang tidak pernah dipanggilnya. Ia menemui pertapa suci, “Katakanlah, mengapa semua berakhir seperti ini?”

“Aung,” jawab pertapa, “Kau membayangkan bahwa harta akan membawa kebahagiaan. Namun kebahagiaan sejati hanya datang dari kebaikan. Yang terpenting bukanlah yang kaumiliki namun apa yang kaulakukan dengannya.”

Raja dewa pun muncul di sebelah pertapa. “Kau melupakan apa yang dikatakan ayahmu. Kekuatan dan pengetahuan sangat berguna, namun mereka harus selalu diiring kebijaksanaan dan kebaikan.”

“Aku takkan melupakannya lagi.”

Sejak saat itu Aung menggunakan kekayaan dan bakatnya untuk berbuat baik. Ia membangun pagoda suci yang megah. Ia menyediakan makanan dan tempat beristirahat bagi orang-orang yang mengunjungi tempat suci itu.

Suatu hari di antara para pengunjung, Aung melihat seorang wanita muda yang sangat dikenalnya bersama seorang pria tua. Keduanya mengenakan pakaian yang sederhana.
“Mala!” panggil Aung. Ia lari menghampiri wanita itu dan berlutut di depan ayahnya yang terheran-heran.

“Tuan, aku telah berbuat salah kepadamu. Aku minta maaf. Semua milikku adalah milikmu dan aku akan mengembalikannya. Aku akan senang pulang ke desaku dan membuat boneka.”

“Ayah,” kata Mala pelan, “Ini Aung. Namun ia sudah berubah.”

“Kalau begitu,” kata ayah Mala, “Lebih baik ia bekerja untukku dan tinggal bersama kita.” 

Aung pun menjadi tangan kanan sang pedagang dan tak lama kemudian menjadi rekan kerjanya. Setelah ia berhasil memenangkan hati Mala, Aung pun menjadi menantu sang pedagang.

Aung masih tetap memanggil boneka-boneka itu bila memerlukan bantuan mereka. Namun walaupun ia seringkali dibantu oleh kekuatan dan pengetahuan, ia selalu dibimbing oleh kebijaksanaan dan kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar