Nagasasra dan Sabuk Inten 001-002

Rabu, 30 November 2011

| | | 0 komentar

NAGASASRA SABUK INTEN 001


AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.

Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.

Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena
masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.

Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan lembut. Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta kerajaan.

Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir.

Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan tenaganya.

Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa Jenar berjalan kearah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.

Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu.

Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu
  kemudian diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang.

Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.

Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini.

Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah kerangka manusia.

Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.

Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi iatidak tahu macam upacara itu.

Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi belukar.Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi digarap.

Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka
tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka.

Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu.

Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke 1.000.

Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya
mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.


NAGASASRA dan SABUK INTEN 002

TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat
persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu.

Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi Sungai Opak.

Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding rumahnya.


Apakah yang aneh padaku?” pikirnya.
Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo.

Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang tertutup.

Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.

Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, ombak panjang dan pendek, pedang, keris dan sebagainya.

Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima.

Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.

Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.

Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.

Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu. 

Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.

Rombongan itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.

Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja
mengikuti di belakangnya.

Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah
kebijaksanaan kakang.”

Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores
di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat
diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.

“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.

Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang
ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.

Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud buruk.

“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. “Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”

Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya ...? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari keadaannya.Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “Ayo bilang!

Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang, kalau Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.”

Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini.

Kisah Singa dan Tikus

Selasa, 29 November 2011

| | | 3 komentar
Pada suatu hari, ketika seekor singa sedang tidur, seekor  tikus berlari-lari di sekitarnya. Tikus beberapa kali menginjak tubuh singa hingga ia terbangun. 
Singa menangkap tikus dan membuka mulut untuk memakannya.

“Tunggu,” kata tikus, “Jangan makan hamba Baginda. Hamba tahu hamba salah, hamba tidak akan mengganggu tidur Baginda lagi.”

“Baginda,” kata tikus lagi, “Ampuni dan lepaskan hamba, hamba berjanji akan menolong Baginda suatu hari nanti.”

Singa memegang tikus pada ekornya dan memandanginya. Ia tertawa dalam hati memikirkan bagaimana tikus itu kelak akan menolongnya. Namun ia tergerak oleh janji sang tikus dan melepaskannya.

Pada  suatu siang, singa berjalan-jalan dalam hutan. Tiba-tiba ia masuk perangkap pemburu.  pemburu pun menangkapnya dengan jaring besar dan mengikat jaring itu di pohon. Mereka kemudian pergi mengambil kereta untuk mengangkut singa itu.

Singa sedih dan putus asa. Ia berusaha melepaskan diri namun jaring itu terlalu ketat membelit tubuhnya hingga ia sulit bergerak.

Tiba-tiba ia merasa belitan jaring agak mengendur. Lalu ia mendengar suara pelan “Krrrket, krrekeett, ket,ket”

Suara aneh itu terus terdengar dan jaring terasa makin kendur.

Lalu, singa mendengar lagi. “Kett, krrrekett, ket, krekeeket, ket, kreket. Sabar, Baginda. Ket kret, sebentar lagi anda bebas. Kreket. Ket. kret”

Singa terkejut. Rupanya tikus menepati janjinya untuk menolongnya dalam kesulitan. Tikus menggigiti jaring sehingga berlubang cukup besar untuk mengeluarkan singa. Singa pun bebas.

Kisah Bangau dan Kepiting

Sabtu, 26 November 2011

| | | 0 komentar

Seekor bangau hidup di dekat sebuah danau. Ia sudah mulai tua sehingga tidak kuat lagi mencari ikan. Ia memutuskan untuk menggunakan akalnya untuk mendapatkan makanan.

Ia pun berjalan-jalan di tepi danau dan sengaja menghela napas keras-keras. Seekor kepiting sedang melintas. Melihat bangau yang tampak sedih itu, ia menyapa, “Hai bangau, mengapa kau begitu sedih?”

“Tak lama lagi aku akan mati kelaparan,” kata bangau.

“Kemarin aku kebetulan mendengar dua nelayan menjala di danau ini. Salah satu mengatakan bahwa di danau ini banyak ikan dan mengajak temannya menjala di sini. Tetapi temannya berkata danau di sebelah sana lebih banyak ikannya. Jadi mereka akan pergi ke danau itu baru kemudian kembali kemari bila ikan di danau sana sudah habis.”

“Kau tahu, aku akan mati bila tak ada ikan lagi di sini,” lanjut bangau dengan suara sedih.

Kepiting mendengarkan dengan seksama. Kemudian ia menyelam dan memberitahukan berita buruk itu kepada semua ikan.

Dalam sekejab semua ikan berkumpul di dekat bangau. Seekor ikan berkata, “Bangau, kepiting sudah memberitahu kami. Sama seperti dirimu, kami juga dalam bahaya besar. Kau memang musuh kami, tetapi kami percaya kau dapat menolong kami.”

Bangau berpura-pura berpikir, lalu berkata, ”Aku sudah tua, apa yang bisa kulakukan untuk kalian. Aku tidak dapat menghalangi kedua nelayan itu.”

Ikan-ikan bercakap-cakap dengan suara berisik. Mereka juga terus membujuk bangau agar mau menolong mereka.

“Bangau,” kata seekor ikan. “Kau memang tidak dapat melawan nelayan, tetapi kau kan bisa memindahkan kami.”

Bangau masih memasang paras muka sedih. Ia pura-pura berpikir. Lalu ia berkata, “Aku pernah melihat sebuah danau  di atas bukit. Airnya sangat jernih. Tampaknya banyak makanan untu kalian di sana. Nelayan tak mungkin dapat menemukan danau itu karena letaknya tersembunyi.”

Ikan-ikan sangat gembira. Tetapi mereka bingung melihat bangau sedih lagi.

“Kau seharusnya senang karena dapat menyelamatkan kami. Dengan begitu kau juga tidak akan kehabisan makanan.”

“Kalian kan tahu aku sudah tua. Bagaimana aku dapat membawa kalian semua?”

Ikan-ikan berunding. Akhirnya mereka mengambil keputusan.

“Kau dapat memindahkan kami sedikit-sedikit setiap hari,” kata seekor ikan tua. “Nelayan itu baru akan kembali beberapa minggu lagi. Kau dapat menyelamatkan kami.”

Bangau terlihat gembira seolah karena berhasil menemukan cara menolong ikan-ikan di danau.

“Baiklah, kita berangkat sekarang juga. Siapa siap pergi?”

Ikan-ikan berunding lagi. Akhirnya mereka sepakat bangau akan membawa tiga atau empat ikan setiap hari.

Bangau membuka paruhnya di atas permukaan air dan tiga ikan besar melompat masuk ke dalamnya. Bangau segera terbang membawa mereka. Setelah agak jauh, bangau turun ke darat dan memakan ikan-ikan itu.

Demikianlah, setiap hari bangau mendapatkan banyak makanan tanpa harus susah payah mencari ikan.

Beberapa hari berlalu, tibalah giliran kepiting untuk dipindahkan. Bangau yang menganggap kepiting sebagai musuhnya sangat gembira karena akhirnya kepiting masuk dalam perangkapnya.

“Aku tak dapat membawamu dalam paruhku. Jepitlah leherku dengan capitmu.”
Kepiting menjepit leher bangau. Berangkatlah mereka.

Ketika mereka mendekati tempat bangau biasanya makan, mata kepiting silau. Ada sesuatu di tanah yang memantulkan cahaya matahari. Kepiting penasaran, apa yang begitu menyilaukan? Setelah lebih dekat ia melihat bahwa benda putih yang memantulkan cahaya itu adalah setumpuk tulang ikan.

Sadarlah kepiting bahwa bangau telah memperdaya mereka.

Kepiting langsung memperketat jepitan capitnya di leher bangau. Bangau tidak dapat bernapas. Ia pun jatuh ke tanah dan mati.

Kisah Rubah dan Burung Gagak

Jumat, 25 November 2011

| | | 1 komentar
Seekor rubah melihat seekor gagak terbang membawa sepotong daging di paruhnya . Gagak itu kemudian hinggap di sebuah dahan pohon. “Aku harus mendapatkan daging itu", kata rubah dalam hati.

“Selamat siang, nyonya Gagak,” sapanya, “Kau kelihatan cantik sekali hari ini. Bulu-bulumu mengkilap. Dan matamu cerah. Aku yakin suaramu pasti lebih merdu dari suara burung-burung lain di hutan ini, seperti halnya bentuk tubuhmu lebih indah daripada mereka. Sayang aku belum pernah mendengar suaramu.  Nyanyikan sebuah lagu untukku."

Gagak mengangkat kepalanya dan mulai menyanyi semerdu mungkin, namun pada saat ia membuka mulutnya potongan daging  itu jatuh  dan langsung ditangkap oleh Tuan Rubah. 

“Terima kasih, Nyonya Gagak. Sebagai pengganti daging ini aku akan memberimu  sebuah nasihat untuk masa depan, janganlah kau  percaya kepada orang yang terlalu banyak memuji.”

Gadis dan Ember Susu

Selasa, 22 November 2011

| | | 1 komentar
Gadis anak petani sedang membawa sebuah ember susu dari ladang ke rumahnya. Ia membawa ember susu itu di atas kepalanya.

Ia mulai berangan-angan, “Uang dari penjualan susu ini bisa untuk membeli tiga ratus telur ayam. Telur-telur itu bila ditetaskan, menghitung sebagian gagal menetas, akan menjadi dua ratus  lima puluh anak ayam. Anak-anak ayam itu akan siap dijual pada saat harga ayam paling tinggi, dan jpada akhir tahun aku punya cukup uang untuk membeli gaun baru. Aku mau gaun hijau...  warna yang cocok untuk kulitku. Aku  akan memakai gaun baruku ke pasar malam. Di sana semua pemuda akan melamarku. Aku akan membuang muka dan menolak mereka semua!”

Pada saat itu ia membuang muka seperti dalam angan-angannya. Ember susu terlempar ke tanah dan semua susunya tumpah, menghapus angan-angan sang gadis

TIKUS KOTA DAN TIKUS DESA

Senin, 21 November 2011

| | | 0 komentar
Pada suatu hari seekor tikus kota pergi mengunjungi sepupunya di desa. Tikus desa kasar namun ia mencintai sepupu kotanya dan  menyambutnya dengan hangat. Ia menawarkan kacang, daging, keju dan  roti. Hanya itu yang dimilikinya namun ia menyajikannya dengan tulus.

Tikus kota berkata, “Aku tak mengerti, bagaimana kau bisa hidup seperti ini, dengan makanan sederhana ini. Tentu saja kau tidak dapat mengharapkan yang lebih baik di desa. Ikutlah dengan ku ke kota dan akan kutunjukkan padamu bagaimana menjalani hidup. Seminggu saja kau tinggal di kota, kau akan heran bagaimana kau bisa bertahan hidup di desa selama ini.”

Tak lama kemudian kedua tikus berangkat ke kota. Mereka pun tiba di rumah tikus kota malam itu. “Kau pasti ingin makan dan minum setelah perjalanan panjang tadi, “ kata tikus kota. Ia mengajak tikus desa ke sebuah ruang makan besar. Di sana ada sisa-sisa makanan pesta dan kedua tikus segera makan dengan lahap. Tiba-tiba terdengar geraman dan gonggongan.

“Apa itu?” tanya tikus desa ketakutan.

“Oh, itu hanya anjing-anjing di rumah ini.”

“Hanya?” kata tikus desa, “Aku tak suka makan malam diiringi musik,”

Pada saat itu pintu terbuka dan masuklah dua ekor anjing besar. Kedua tikus pun lari.

“Selamat tinggal, sepupuku,” kata tikus desa

“Kau baru tiba, sudah mau pergi?” jawab tikus kota.

“Ya,” kata tikus desa, “Lebih baik makan roti dan kacang dengan tenang daripada makan kue yang mewah tapi selalu ketakutan.”

CHONGUITA,SANG PUTERI MONYET

Sabtu, 19 November 2011

| | | 2 komentar
Seorang raja memiliki tiga orang putera bernama Pedro, Diego dan Juan. Pada suatu hari  sang raja menyuruh putera-puteranya meninggalkan istana untuk menemukan jodoh mereka.

Setelah berhari-hari berjalan, si bungsu Don Juan berjumpa dengan seorang kakek tua. Kakek itu memberi  Don Juan sepotong roti dan menyuruhnya pergi ke sebuah istana satu mil jauhnya dari tempat itu. “Kau harus ingat untuk membagikan roti ini kepada monyet-monyet yang menjaga gerbang istana, agar kau diijinkan masuk.”

Don Juan mengambil roti itu. Ketika tiba di istana ia melakukan apa yang diperintahkan oleh kakek. Kemudian ia masuk ke dalam istana dan bertemu dengan seekor monyet besar. Don Juan hampir saja lari ketakutan, namun monyet besar memanggilnya, “Don Juan, aku tahu bahwa kau datang kemari untuk mencari jodohmu. Puteriku Chonguita akan menikahimu.”

Don Juan dan Chonguita pun menikah.

Beberapa hari kemudian Don Juan minta ijin kepada isterinya untuk menemui ayahnya.   Ketika ibu Chonguita mendengar bahwa Don Juan akan pergi, ia berkata, “Bawalah Chonguita bersamamu.” Don Juan pun pulang ke istana bersama isterinya.

Sang raja menyambut kedatangan mereka. Ia sangat kecewa dan malu karena Don Juan mengambil seekor monyet menjadi isterinya. Sang raja terus memikirkan hal ini dan ia makin merasa malu, maka pada suatu hari ia memanggil ketiga puteranya dan berkata, “Katakan kepada isteri-isterimu bahwa aku ingin mereka masing-masing membuat mantel bersulam untukku. Siapa yang tidak berhasil membuatnya dalam tiga hari akan dihukum mati.”

Sang raja berharap Chonguita tidak dapat membuat mantel sehingga ia dihukum mati, namun betapa kecewanya ia karena pada hari ketiga, para menantunya menyerahkan mantel buatannya, dan ternyata sulaman pada mantel Chonguita lah yang paling indah.

Karena masih ingin menyingkirkan Chonguita, sang raja kemudian memerintahkan para menantunya membuat topi dengan sulaman dalam waktu dua hari dengan ancaman hukuman mati bila mereka gagal. Ketiga wanita itu menyelesaikan topi mereka tepat pada waktunya.

Akhirnya sang raja memanggil ketiga menantunya dan berkata, “Barang siapa di antara kalian bertiga membuat lukisan terindah di dinding ruanganku dalam waktu tiga hari, maka aku akan mengangkat suaminya menjadi raja.”

Pada akhir hari yang ketiga lukisan-lukisan itu telah selesai. Raja melihat bahwa lukisan Chonguita yang terindah, maka Don Juan pun diangkat menjadi raja.

Sebuah pesta besar diselenggarakan untuk menghormati raja yang baru. Di tengah kemeriahan pesta, Don Juan sangat marah karena isterinya memaksa untuk berdansa dengannya. Don Juan mendorong Chonguita ke dinding. Pada saat itu ruangan menjadi gelap namun segera menjadi terang kembali dan Chonguita telah berubah menjadi wanita yang cantik jelita.

PETANI DAN PUTERA-PUTERANYA

| | | 0 komentar

Seorang petani menjelang kematiannya memanggil putera-puteranya memberitahu mereka tentang ladang dan kebun anggurnya. Ia juga menceritakan harta karun yang terkubur satu kaki di bawah permukaan tanah. Putera-puteranya berpikir  bahwa ia telah menyembunyikan uang di dalam tanah. 

Setelah petani itu meninggal dan dimakamkan, putera-puteranya dengan penuh semangat menggali tanah di seluruh ladang dan kebun anggur namun mereka tidak menemukan apa-apa. Tanah kebun dan  menjadi sangat gembur sehingga hasil panen berikutnya begitu banyak. Putera-putera petani itu menyadari bahwa itulah harta karun yang ayah mereka sembunyikan di dalam tanah.

The Selfish Giant

Jumat, 18 November 2011

| | | 0 komentar
Every afternoon, as they were coming from school, the children used to go and play in the Giant's garden.
     It was a large lovely garden, with soft green grass. Here and there over the grass stood beautiful flowers like stars, and there were twelve peach-trees that in the spring-time broke out into delicate blossoms of pink and pearl, and in the autumn bore rich fruit. The birds sat on the trees and sang so sweetly that the children used to stop their games in order to listen to them. 'How happy we are here!' they cried to each other.
     One day the Giant came back. He had been to visit his friend the Cornish ogre, and had stayed with him for seven years. After the seven years were over he had said all that he had to say, for his conversation was limited, and he determined to return to his own castle. When he arrived he saw the children playing in the garden.
     'What are you doing here?' he cried in a very gruff voice, and the children ran away.
     'My own garden is my own garden,' said the Giant; 'any one can understand that, and I will allow nobody to play in it but myself.' So he built a high wall all round it, and put up a notice-board.

TRESPASSERS 
WILL BE 
PROSECUTED


     He was a very selfish Giant.
     The poor children had now nowhere to play. They tried to play on the road, but the road was very dusty and full of hard stones, and they did not like it. They used to wander round the high wall when their lessons were over, and talk about the beautiful garden inside.
     'How happy we were there,' they said to each other.
    Then the Spring came, and all over the country there were little blossoms and little birds. Only in the garden of the Selfish Giant it was still Winter. The birds did not care to sing in it as there were no children, and the trees forgot to blossom. Once a beautiful flower put its head out from the grass, but when it saw the notice-board it was so sorry for the children that it slipped back into the ground again, and went off to sleep. The only people who were pleased were the Snow and the Frost. 'Spring has forgotten this garden,' they cried, 'so we will live here all the year round.' The Snow covered up the grass with her great white cloak, and the Frost painted all the trees silver. Then they invited the North Wind to stay with them, and he came. He was wrapped in furs, and he roared all day about the garden, and blew the chimney-pots down. 'This is a delightful spot,' he said, 'we must ask the Hail on a visit.' So the Hail came. Every day for three hours he rattled on the roof of the castle till he broke most of the slates, and then he ran round and round the garden as fast as he could go. He was dressed in grey, and his breath was like ice.
     'I cannot understand why the Spring is so late in coming,' said the Selfish Giant, as he sat at the window and looked out at his cold white garden; 'I hope there will be a change in the weather.'
     But the Spring never came, nor the Summer. The Autumn gave golden fruit to every garden, but to the Giant's garden she gave none. 'He is too selfish,' she said. So it was always Winter there, and the North Wind, and the Hail, and the Frost, and the Snow danced about through the trees.
     One morning the Giant was lying awake in bed when he heard some lovely music. It sounded so sweet to his ears that he thought it must be the King's musicians passing by. It was really only a little linnet singing outside his window, but it was so long since he had heard a bird sing in his garden that it seemed to him to be the most beautiful music in the world. Then the Hail stopped dancing over his head, and the North Wind ceased roaring, and a delicious perfume came to him through the open casement. 'I believe the Spring has come at last,' said the Giant; and he jumped out of bed and looked out.
     What did he see?
     He saw a most wonderful sight. Through a little hole in the wall the children had crept in, and they were sitting in the branches of the trees. In every tree that he could see there was a little child. And the trees were so glad to have the children back again that they had covered themselves with blossoms, and were waving their arms gently above the children's heads. The birds were flying about and twittering with delight, and the flowers were looking up through the green grass and laughing. It was a lovely scene, only in one corner it was still Winter. It was the farthest corner of the garden, and in it was standing a little boy. He was so small that he could not reach up to the branches of the tree, and he was wandering all round it, crying bitterly. The poor tree was still quite covered with frost and snow, and the North Wind was blowing and roaring above it. 'Climb up! little boy,' said the Tree, and it bent its branches down as low as it could; but the little boy was too tiny.
     And the Giant's heart melted as he looked out. 'How selfish I have been!' he said; 'now I know why the Spring would not come here. I will put that poor little boy on the top of the tree, and then I will knock down the wall, and my garden shall be the children's playground for ever and ever.' He was really very sorry for what he had done.
     So he crept downstairs and opened the front door quite softly, and went out into the garden. But when the children saw him they were so frightened that they all ran away, and the garden became Winter again. Only the little boy did not run, for his eyes were so full of tears that he died not see the Giant coming. And the Giant stole up behind him and took him gently in his hand, and put him up into the tree. And the tree broke at once into blossom, and the birds came and sang on it, and the little boy stretched out his two arms and flung them round the Giant's neck, and kissed him. And the other children, when they saw that the Giant was not wicked any longer, came running back, and with them came the Spring. 'It is your garden now, little children,' said the Giant, and he took a great axe and knocked down the wall. And when the people were gong to market at twelve o'clock they found the Giant playing with the children in the most beautiful garden they had ever seen.
     All day long they played, and in the evening they came to the Giant to bid him good-bye.
     'But where is your little companion?' he said: 'the boy I put into the tree.' The Giant loved him the best because he had kissed him.
     'We don't know,' answered the children; 'he has gone away.'
     'You must tell him to be sure and come here to-morrow,' said the Giant. But the children said that they did not know where he lived, and had never seen him before; and the Giant felt very sad.
     Every afternoon, when school was over, the children came and played with the Giant. But the little boy whom the Giant loved was never seen again. The Giant was very kind to all the children, yet he longed for his first little friend, and often spoke of him. 'How I would like to see him!' he used to say.
     Years went over, and the Giant grew very old and feeble. He could not play about any more, so he sat in a huge armchair, and watched the children at their games, and admired his garden. 'I have many beautiful flowers,' he said; 'but the children are the most beautiful flowers of all.'
     One winter morning he looked out of his window as he was dressing. He did not hate the Winter now, for he knew that it was merely the Spring asleep, and that the flowers were resting.
     Suddenly he rubbed his eyes in wonder, and looked and looked. It certainly was a marvellous sight. In the farthest corner of the garden was a tree quite covered with lovely white blossoms. Its branches were all golden, and silver fruit hung down from them, and underneath it stood the little boy he had loved.
     Downstairs ran the Giant in great joy, and out into the garden. He hastened across the grass, and came near to the child. And when he came quite close his face grew red with anger, and he said, 'Who hath dared to wound thee?' For on the palms of the child's hands were the prints of two nails, and the prints of two nails were on the little feet.
     'Who hath dared to wound thee?' cried the Giant; 'tell me, that I may take my big sword and slay him.'
     'Nay!' answered the child; 'but these are the wounds of Love.'
     'Who art thou?' said the Giant, and a strange awe fell on him, and he knelt before the little child.
     And the child smiled on the Giant, and said to him, 'You let me play once in your garden, to-day you shall come with me to my garden, which is Paradise.'
     And when the children ran in that afternoon, they found the Giant lying dead under the tree, all covered with white blossoms.