Jamell suka pergi ke tempat permandian umum dan mengobrol dengan teman-temannya. Pada suatu hari, Jamell pergi ke tempat permandian, namun penjaga pintu tidak mengijinkannya masuk. “Isteri peramal kerajaan menyewa seluruh tempat ini,” katanya.
Jamell pulang dengan kesal. Ketika Ahmed pulang, Jamell menceritakan kejadian siang itu dan berkata,”Kau harus menjadi peramal.”
Ahmed menjawab,”Aku kan tidak bisa meramal. Kau pikir mudah menjadi peramal?”
“Tetapi...”
“Kalau kau tidak mau, aku mau pulang saja ke rumah ayahku,” Desak Jamell.
Esok harinya, Ahmed menjual sekopnya dan membeli sebuah dadu, papan peramal dan jubah. Ia kemudian duduk di pasar di dekat permandian. Isteri seorang menteri baru saja keluar dari permandian. Ia kehilangan cincin permatanya di permandian itu. Ia mendatangi Ahmed, katanya, “Oh, peramal, tolonglah aku. Aku tadi mengenakan cincin hadiah dari suamiku ketika pergi mandi. Sekarang cincin itu tak ada lagi. Katakan di mana cincin itu.”
Ahmed melemparkan dadu, lalu berkomat kamit dan bergumam. Ia bingung, apa yang harus dikatakannya? Kemudian ia melihat sebuah lubang di lengan baju isteri menteri.
Tak tahu apa yang harus dikatakannya, ia berkata, “Nyonya, aku melihat sebuah lubang...”
“Lubang?" kata isteri menteri, " Oh, tentu saja!”
Ahmed kebingungan melihat isteri menteri itu tersenyum dan kembali ke tempat permandian. Tak lama kemudian wanita itu kembali lagi. Ia memperlihatkan cincin bertatahkah batu permata besar di jarinya.
“Aku menemukannya, terima kasih,” katanya, “Tadi aku menyembunyikan cincin ini di lubang di dinding supaya tidak hilang. Tetapi aku lalu lupa.”
Ia memberi Ahmed sebuah koin emas. Ahmed hampir tidak dapat mempercayai keberuntungannya. Ia pulang dan memberikan koin itu kepada Jamell. Ia kemudian menjelaskan kepada Jamell bahwa ia tidak mau menjadi peramal lagi.
“Aku tadi membohongi nyonya itu. Aku sebenarnya tak tahu di mana cincinnya,” katanya.
“Omong kosong!” kata Jamell, “Mungkin kau memang berbakat menjadi peramal.”
Malam itu, empat puluh orang perampok mencuri empat puluh peti harta di ruang penyimpanan harta kerajaan. Esok harinya raja memanggil peramal kerajaan dan semua pembantunya. Semua alat ramal mereka gunakan, namun mereka tidak dapat menemukan peti-peti harta itu. Raja memerintahkan agar mereka dipenjarakan.
Raja kemudian teringat bahwa seorang peramal berhasil menemukan cincin isteri salah seorang menterinya. Ia memerintahkan untuk memanggil Ahmed. Ahmed menghadap dengan tubuh gemetar ketakutan. Bagaimana ia dapat menemukan harta yang dicuri itu?
“Peramal, empat puluh peti hartaku dicuri orang. Apakah kau tahu siapa pencurinya?” kata raja.
“Ada empat puluh orang, baginda,” kata Ahmed tergagap-gagap.
“Kau hebat,” kata raja, “Namun aku ingin kautemukan harta itu dan pencurinya.”
“Hamba akan menemukannya, “kata Ahmed sambil berpikir bagaimana ia dapat mengulur waktu. “Namun hamba membutuhkan waktu... dan cukup lama...”
“Berapa lama yang kau butuhkan?”
“Hamba membutuhkan waktu empat puluh hari.”
“Baiklah, kau boleh kembali empat puluh hari dari sekarang, namun bila kau gagal, kau akan kumasukkan ke dalam penjara,” kata raja.
Salah seorang pencuri adalah pelayan istana. Ia mendengar pembicaraan raja dan Ahmed dan melaporkannya kepada kepala pencuri. Kepala pencuri itu kemudian menyuruhnya memata-matai Ahmed. Pelayan itu naik ke atap teras rumah Ahmed dan mendengarkan apa yang terjadi di rumah itu.
Ahmed pulang dengan gelisah. Setiba di rumah, ia mengambil empat puluh butir kurma kering dan menaruhnya dalam mangkuk. “Aku akan memakan kurma ini satu per satu setiap hari sehingga aku tahu kapan aku harus menghadap sang baginda.”
“Nah, ini satu!” kata Ahmed.
Pencuri yang berada di atap terperanjat. Ia buru-buru menghadap kepala pencuri dan melapor.
“Peramal itu benar-benar hebat. Ia tahu aku ada di atas atap rumahnya!” katanya ketakutan.
Kepala pencuri berkata, “Kau bohong. Besok kau pergi berdua ke rumah peramal itu.” Ia kemudian menunjuk seseorang untuk pergi bersama pelayan istana ke rumah Ahmed.
Keesokannya, dua pencuri mendengarkan dari atas teras rumah Ahmed. Ahmed mengambil kurma yang kedua dan berkata, “Dua sekarang.” Kedua pencuri itu hampir jatuh dari atap. Mereka segera melapor kepada pemimpinnya. Sang pemimpin pencuri kembali menyuruh tiga orang pergi ke rumah Ahmed esoknya. Empat, lima, enam, tujuh, begitu seterusnya hingga hari keempat puluh.
Pada hari keempat puluh Ahmed mengambil mangkuk kurma sambil menghela nafas panjang. Ia masih belum tahu jawaban apa yang harus ia berikan kepada raja. Ia mengambil kurma yang terakhir, memakannya dan berkata, “Empat puluh! Lengkap sudah.”
Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Ahmed membuka pintu. Di depannya empat puluh orang pencuri berlutut dan menyembah.
Kepala pencuri berkata, “Peramal agung, mohon ampuni kami. Kamilah yang mengambil empat puluh peti harta itu. Jangan serahkan kami kepada raja. Kami mohon!”
Ahmed berpura-pura berpikir. Keempat puluh orang pencuri itu terus memohon-mohon dan menyembah-nyembah.
“Baiklah,” kata Ahmed, “Aku akan membebaskan kalian. Tetapi ingat, kalian harus mengembalikan semua barang yang sudah kalian curi itu.”
“Kami berjanji akan mengembalikannya,” kata kepala pencuri.
Mereka pun pergi.
Tak lama kemudian datanglah dua orang pengawal untuk menjemput Ahmed. Raja bertanya, “Empat puluh hari sudah berlalu, sekarang katakan di mana peti-peti harta itu dan siapa pencurinya.”
“Baginda yang mulia,” kata Ahmed. “Hamba mohon maaf, hamba tidak dapat menjawab kedua pertanyaan tersebut. Hamba hanya dapat menjawab salah satu, di mana harta itu atau siapa pencurinya.”
Raja sebenarnya kecewa namun ia terpaksa berkata, “Baiklah, katakan di mana keempat puluh peti harta itu.”
Ahmed mengatupkan kedua tangannya dan menundukkan kepala. Kemudian ia menggerak-gerakkan tangannya seperti menari, mulutnya bergumam keras-keras namun tak seorang pun mengerti apa yang digumamkannya.
“Silakan Baginda melihat ruang penyimpanan harta. Peti-peti itu sudah kembali ke tempat semula.”
Raja mengajak menteri-menterinya memeriksa. Dan benar, peti-peti itu sudah kembali dan tetap utuh isinya.
Raja kemudian menghadiahkan sebuah peti harta kepada Ahmed. “Kau benar-benar peramal yang hebat. Mulai hari ini kau kuangkat menjadi peramal kerajaan.”
“Mohon maaf, yang mulia. Hamba tidak dapat menjadi peramal lagi. Usaha menemukan harta itu telah menghabiskan seluruh kekuatan hamba.”
“Sayang sekali, kalau begitu aku akan menambahkan hadiahmu menjadi dua kali lipat.”
Ahmed pulang ke rumahnya dengan perasaan bahagia tiada terkira. Ia sudah menjadi kaya raya dan Jamell tidak perlu memaksanya lagi menjadi peramal.
0 komentar:
Posting Komentar